Jakarta 26 mei 1996 tepat dihari minggu aku dilahirkan,
malam itu ya tepat dimalam yang sunyi dan dingin semua keluargaku menantikan
kehadiranku. Ibu, ibuku yang pada saat itu berjuang keras melawan kematian,
mempetaruhkan nyawa demi keselamatanku, demi aku yang ingin merasakan kefanaan
dunia. Detik demi detik terlewati malaikat kecil yang ditunggu-tunggu telah
lahir, rasa haru, rasa syukur yang begitu dalam bahkan ketegangan menyelimuti
ruang sederhana itu. Entah berapa juta kasih yang sanggup aku hantarkan pada
beliau, dengan menahan rasa sakitnya beliau tersenyum tipis dan berkata lirih
“Terima kasih ya Allah atas anugrah-Mu, atas semua kebesaran-Mu, atas apa yang
telah Engkau percayakan padaku saat ini, terima kasih Kau lahirkan anakku
dengan selamat”. “Ibu, Ayah, Kakak.. akhirnya aku bersama kalian sekarang.
Akhirnya aku bisa merasakan hangatnya pelukan kalian” seraya hati kecilku
berkata. Panca Warni nama yang indah diberikan padaku, entah berapa malam
ayahku memikirkan nama itu, betapa berpikir kerasnya beliau saat mewujudkan
do’a-do’a melalui nama itu.
Seiring berjalannya waktu aku mulai tumbuh menjadi seorang
yang sederhana. Tanpa suatu kelebihan yang terlalu mencolok. Masa kecilku
berlalu dengan indah, banyak kenangan yang terukir dipikiranku, tanpa bisa aku
jelaskan dengan kata-kata atau aku torehkan dengan tulisan-tulisan. Tentang
diriku, tentang pribadiku biarlah mereka yang menilaiku, aku hanya menjadi
diriku yang utuh, diriku yang sepenuhnya, apa adanya aku bukan ada apanya
didiriku.
Tak selamanya takdir menggariskan kehidupan yang indah, hari
itu kelabu bagiku, hari itu aku pikir hari terakhir adanya kebahagiaan
dihidupku. Entah apa yang harus aku katakan kali ini, kelam menyelimuti jiwaku.
17 Agustus 2009 tepat dihari itu aku harus merelakan ibuku, hembusan nafas
terakhirnya menandakan kalau dia harus pergi dariku, harus meninggalkanku, ayah
dan kakakku didunia ini. Lalu apa yang harus aku lakukan ? apa yang aku perbuat
nantinya tanpamu ? banyak pertanyaan yang mengelilingi otakku, tanpa ada
jawabnya, aku hanya bisa menangis, ya apa lagi yang bisa ku lakukan, “hei aku
hanya remaja berusia 13 tahun”
Keluhan demi keluhan saja yang selalu aku
ucapkan, tanpa pernah berfikir apa hikmah dibalik kejadian pahit ini. Dengan
kenyataan pahit yang dikadokan untukku, semestinya aku semakin tegar,
semestinya aku rela dan ikhlas melepas ketidak setujuanku kepada catatan
takdir. Dan seharusnya aku benar-benar membuka mata, kalau ini bukan mimpi tapi
realita hidup. Sadar ataupun tidak aku bukan anak yang dilahirkan terbalut
sutra, tak boleh aku iri dengan mereka yang mempunyai segalanya, banyak dari
anak yang menginginkan beberapa keberuntunganku, banyak yang harus aku syukuri
dari semua hidup yang telah aku jalani. Tak mudah untuk bangkit dari
keterpurukan, tak mudah menjadi aku dihari ini, tapi aku sadar ibuku masih
menitipkan ayah dan kakakku padaku, ibu ingin melihat dari surga sana
kebersamaan kami, aku yakin beliau ikut tersenyum melihat kami disini.
Dengan
mengemban tanggung jawab ini aku mulai bangkit perlahan tapi pasti, burung
pipit pun tahu dia harus tetap hidup, walaupun hanya mematuki sisa padi
dilumbung sang petani. Mau tak mau, hidup ini ada untuk dihidupkan. Karena aku
hidup bernafas maka akan ku hidupkan nafasku. Tak ku pungkiri terbesit disetiap
malam rindu-rindu yang menggelitik hatiku, kerinduan pada sesosok ibu, hangat
peluknya akan tetap terkenang. Pernah aku tulis rasa rindu disecarik kertas,
aku hanyutkan diderasnya hujan.
Teruntukmu ibuku,
Aku rangkai semua rinduku..
Melukis kenangan kita dilangit..
Mengukir angan kita setinggi bukit..
Raga mu kini telah tiada, tapi tidak dengan jiwamu.
Dengan kasihmu, tetap kau lantunkan do’a untukku.
Tak pernah terpikirkan akan seperti ini,
Tapi aku harus setegar karang, tetap kokoh meski diterjang
ombak tak henti.
Sebait do’a disetiap malam sunyi akan aku hantarkan,
Suatu saat nanti ada masanya kita akan saling berpelukan,
Melepas semua kerinduan, bersama dan takkan terpisah lagi,
Yaa suatu hari nanti.
Kini aku bukan anak kecil lagi, aku remaja yang beranjak
dewasa, aku harus mengerti segalanya. Untuk kalian yang bernasib sama, jangan
pernah kalian sesali, bangkit dan buktikan pada dunia bahwa kalian bisa. Ini
hidupku, dan inilah aku, akan ku jadikan senyum orang tuaku atas kebanggaanku,
akan ku jadikan diriku tokoh utama dinaskah yang telah tertulis. Aku ingin
seperti matahari, yang selalu bersinar setiap hari. Aku ingin seperti bulan,
bersinar digelap malam. Aku akan menjadi diriku, bukan diriku yang sempurna,
tapi diriku yang bisa memberikan pahatan kesan istimewa pada setiap insan yang
mengingatnya.